SATU
426. Kulihat angka itu sekali lagi saat meninggalkan apotik. Pantas saja kepalaku sering pusing dan badanku sedikit melemah. Indeks gula darahku masih terlampau tinggi, jauh dari skala normal; 140 mg/dl. Ingin rasanya aku menangis, tapi untuk apa? Tak ada gunanya, itu hanya akan membuatku semakin merasa terpuruk. Terlebih lagi, rasa sedihku ini tak dapat lagi kunikmati seorang diri, sejak lelaki itu mengikrarkan janjinya tuk menjadi qawwamku hampir delapan tahun silam. Dengan seluruh beban yang diembannya, permasalahan dan tantangan yang dihadapinya, aku tak ingin menambah satu kesedihan bertengger di hatinya. Karena itulah aku harus kuat. Untuk diriku, dan dirinya.
Namun hati manusia itu terlampau lemah, aku sering tak dapat berdamai dengan perasaanku sendiri. Ingin rasanya berteriak, "God...why me?". Kenapa mesti aku? Ketika dokter mengabarkan aku menderita diabetes gestasional ini, saat itu aku masih berusia 29 tahun dan sedang hamil anak kedua. Anak yang selalu kami nantikan kehadirannya, namun segera kembali ke pangkuan Rabbnya sebelum aku menatap dan menyentuhnya. Aku selalu berpikir, diabetes itu hadir di usia senja, penyakit warisan keluarga, atau hinggap pada mereka yang memiliki berat badan berlebih. Dan aku bukanlah salah satu di antara ketiganya.
Hatiku mengutuk dan membenci penyakit ini. Penyakit yang juga menyerang ibu mertuaku hingga akhirnya meninggal. Penyakit yang membuatku mesti bersahabat dengan jarum suntik dan insulin, dan mungkin juga yang menjadi penyebab anakku meninggal sebelum dia terlahir ke dunia ini. Aku menyalahkan diabetes untuk hal-hal manis yang terrenggut dari hidupku.
Namun saat memikirkan semuanya, hatiku bergetar... bulu kudukku merinding dahsyat. Aku tiba-tiba takut ketika beberapa tanya melintas dalam benakku. "Pada siapa aku marah? Pada siapa aku benci? Bukankah Allah yang memiliki semua ijin atas segala musibah untuk menguji hamba-hambaNYA?"
Astaghfirullaahal adziim, sesungguhnya kita milikNYA dan akan kembali padaNYA. Jika sakit itu datang, tentulah dengan kehendak Allah. Tugas kita hanya bersabar dan berikhtiar menyembuhkannya. Mungkin tak akan mudah melakukannya, namun aku mulai mencoba menerima kehadiran penyakit yang kataya pembunuh ranking ke-sekian setelah jantung dan stroke itu sebagai sahabat terbaik yang selalu mengingatkanku untuk hidup sehat.
Sabar dan ikhlas itu sebuah perjalanan, petualangan...sesuatu yang harus diperjuangkan. Aku terus mencoba menggali hikmah. Dalam beberapa kisah hidupku yang tak manis ini, ada banyak hal yang cukup membuatku tersenyum...
To be continued to Part : Dua
Barakallah Mbak. Sdh menemukan sebagian hikmah di balik ujiannya. Semoga selalu tabah dan semangat ...
BalasHapuswa fiik barakallaah...makasih banyak semangat dan doanya mba Mugniar ^^
Hapus