Jumat, 06 September 2013

Mengukir Kenangan

Scene 1 : Reuni Tak Terduga.

"Hai Derrie...masih inget aku ngga? Apa kabar? Kamu di mana sekarang?", tiba-tiba seorang wanita yang berpenampilan agak sedikit menor menepuk bahuku dan memberondong banyak pertanyaan yang belum sempat aku jawab. Aku hanya mampu tersenyum sambil mengingat-ingat wajah yang ada dibalik topeng make-up tebal itu. Tanpa berniat tidak sopan, aku menatap wajahnya. Lalu aku sadar belum mengucapkan sepatah kata pun. "Baik...alhamdulillaah baik...", jawabku hampir setengah berbisik. Ah semoga aku belum terlalu terlambat untuk menjawabnya.

Ah, aku baru ingat sekarang. Dia Tessy, teman sekelasku saat kami berada di bangku Taman Kanak-Kanak. Ya... dia adalah Tessy yang cantik, centil, cerewet, dan sangat dominan di kalangan anak-anak. Tessy yang selalu banyak teman dan menjadi pusat perhatian juga sering membuat aksi-aksi tak terduga. Tessy yang pernah membuatku merasa rendah diri dan begitu malu dihadapan teman-teman. Aku sendiri tak begitu ingat kejadian sebenarnya. Yang jelas aku pernah menjadi bahan tertawaan teman-temanku saat Tessy berkata sesuatu tentang tubuhku yang saat itu lebih mirip Doraemon.

Seketika aku menarik diri dari reuni singkat dan tak terduga itu. Segera aku berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal padanya dengan alasan aku sedang terburu-buru. Entah mengapa hatiku mendadak jadi tak menentu saat bertemu dengannya. Entahlah, aku tiba-tiba merasa kesal dan marah untuk sebuah alasan yang tak bisa aku ingat lagi.


Scene 2 : Telpon Pembunuh Cinta

Arrgghh... Pikiranku begitu kacau saat ini. Persiapan yang kurang matang, belum adanya sistem yang jelas dan pelanggan yang mulai berdatangan menjadikan aku orang yang paling tidak siap menjalankan bisnis online ini. Namun karena kebutuhan, aku terpaksa mempelajari bisnis online ini secara otodidak. Berbekal nekat dan bermodalkan uang yang mepet, dengan ucapan "Bismillaahirrahmaanirrahiim" dan niat baik, aku akhirnya menjalankan bisnis meski di awal terseok-seok. Sesekali aku terpaksa melayangkan sebuah pesan singkat pada seorang konsumen.

"Maaf Bu, request Ibu belum saya follow up lagi. Tapi insyaAllah pesanan Ibu on process.. 3-4 hari diusahakan sudah selesai. Maaf untuk keterlambatan ini". Message Sent.
Nokia jadulku berdering. Incoming call : Customer 13. Ah, itu Bu Zikha!!! Dia adalah salah seorang golden konsumenku yang sekitar tahun lalu pernah memesan barang daganganku secara online. Aku tak mengerti mengapa tubuhku tiba-tiba gemetar, aku seakan tak kuasa menahan jantungku yang seperti hendak loncat dari tempatnya.   

"Assalamu'alaikum...iya bu Zikha apa kabar?", ucapku memulai percakapan. Oh, dia mau memesan baju. kali ini untuk keponakannya katanya. "Maaf ibu, saya ngga bisa menerima permintaan ibu karena sedang banyak antrian", jawabku spontan. Meski bersikukuh beliau menyatakan bersedia mengantri, tapi entah mengapa aku tetap tak bisa menerimanya. Seingatku Bu Zikha pelanggan yang cukup baik, dia juga sering memberiku pembayaran lebih dari harga yang aku tentukan, sebagai tips katanya. Tapi aku tetap tak bisa menerima permintaannya. 

Setelah menelisik jauh dalam batinku, aku tau aku pernah kecewa dengan perkataannya. Entahlah, aku ragu karena aku sudah tak ingat lagi apa tepatnya yang dia katakan, namun seingatku saat itu perkataan Bu Zikha sangat melukai harga diriku. Dan aku tak merasa nyaman tuk kembali berinteraksi dengannya.


Scene 3 : Kisah Pilih Kasih

Kemarin aku terpaksa menelpon keempat anak-anakku tuk pulang. Abah mereka sakit keras. Mba Zarin, Mas Ragil, Parno dan si bungsu Kinara akhirnya pulang dan berkumpul ke rumah reyot ini. Keempat anak-anakku yang sangat aku banggakan. Mba Zarin, si sulung sudah menjadi PNS di Departemen Keuangan di kota Jakarta, menikah dengan seorang pengusaha kaya. Anak kedua ku, Mas Ragil sudah menjadi karyawan di perusahaan Korea di Surabaya, sudah berkeluarga dan memberiku dua cucu yang lucu-lucu. Si bungsu Kinara pun sudah mengembangkan sayap kecilnya, menjadi bidan di kota sebelah dan sedang menunggu pengangkatan menjadi PNS, dan dia sedang menanti lamaran seorang dokter muda. Dan... Parno, anak ketigaku. Parno yang tetap menjadi Parno. Dia sudah duluan berkeluarga sebelum kakak-kakaknya menikah. Dia menikah muda dengan seeorang gadis desa yang berpendidikan tak tinggi. Namun hingga lebih dari 8 tahun pernikahan mereka belum juga memberikan kami cucu. 

Ketiga anak-anakku tinggal di luar kota, jadi hanya tiap beberapa bulan saja mereka pulang. Apalagi Mba Zarin dan Mas Ragil, mereka sangat sibuk dan hampir hanya setahun sekali saja pulang menemui kami, emak dan Abahnya. Kalau mudik, mereka pasti banyak membawa bingkisan, oleh-oleh, dan uang yang banyak untuk kami. Sesekali juga kami diajak jalan-jalan berekreasi naik mobil mereka. Syukur alhamdulillah Gusti Allah sudah mengkaruniai kami anak-anak yang baik dan sukses.

Di antara ke empat anak-anakku,  hanya Parno yang masih tetap tinggal di satu desa dengan kami. Parno dan istrinya memang sering berkunjung. Tapi kunjungannya sebentar-sebentar saja, tak pernah lama apalagi menginap. Parno itu berbeda dengan saudaranya yang lain. Sejak kecil, Parno sering tak menurut pada orangtua. Abahnya menganggap Parno itu berjiwa pemberontak. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Kuliah semaunya, menikah semaunya, sekarang bekerja pun penghasilannya hanya cukup untuk hidup. Parno terlalu rumit dengan prinsip-prinsip idealismenya.Terkungkung dalam aturan-aturan yang katanya ngga boleh bertentangan dengan aturan agama. Mulai dari penampilan celana cingkrangnya yang ngga mantes, jenggotnya yang dibiarkan panjang, hingga masalah pekerjaan. Dia lebih memilih menjadi wirausahawan yang lebih aku pandang sebagai tukang kredit barang, dari pada menerima tawaran Pak Dhe'nya untuk bekerja di Bank sesuai dengan ijasahnya Sarjana Ekonomi Manajemen.

Banyak hal yang berbeda yang membuat Parno dan kami orangtuanya menjadi tidak dekat secara emosional. Bahkan sudah lama sekali, aku tak ingat kapan Parno mengobrol intim dengan Abah dan Emaknya ini. Curhat dari hati ke hati seperti yang dilakukan anak-anakku yang lain. Dia anakku yang dekat di mata namun terasa jauh di hati. Mungkin hatiku dan hati Abah belum bisa merengkuh dan memahaminya. Setiap kali mencoba membuka dialog diskusi panjang lebar, Abah sering tak bersesuaian dengan Parno. Mereka bagaikan sepasang garis kembar tak berujung yang ujung-ujungnya tak pernah bertemu atau saling bersilangan. Mungkin itu yang membuat Parno enggan berlama-lama duduk di kursi teras rumah kami, atau bahkan enggan menginap di kamar rumah kami yang kosong ini.

Tapi...dibalik sikapnya yang musykil dari anak-anak lain, Parno itu anak yang baik dan bakti pada orangtua. Tak dipungkiri, dia lebih banyak memberi pada kami. Setiap Minggu seringkali istrinya mengantarkan aneka kudapan, singkong rebus, ubi atau jagung rebus. Tak jarang pula mereka datang tanpa membawa apapun selain senyum yang terkembang. Kalau Abah sakit masuk angin, Parno datang memijit dan kerok punggung Abah. Kalau Emak butuh beli bawang atau bumbu-bumbu, Parno tak sungkan membelikan ke warung. 

Itulah Parno, anakku yang unik. Entah apa yang membuatmu begitu jauh dari sisi hati kami nak. Apapun yang mungkin pernah Emak dan Abah ucapkan, atau lakukan padamu yang membuatmu merasa tak ingin singgah berlama-lama di rumah ini...Emak dan Abah mohon maaf.


***********

Kita mungkin pernah merasa tidak nyaman dengan kehadiran atau saat bertemu dengan seseorang, karena pernah mengalami  sebuah insiden dengannya. Padahal kita sendiri sudah tak ingat lagi detil kejadian tersebut.

Mungkin benar adanya sebuah ungkapan: 
"People won't remember what you said, but they will remember how you make them feel..."

Namun apapun yang telah kita alami, pahit manisnya biarkanlah menjadi bagian dari masa lalu. Maafkanlah semua dan lanjutkan kehidupanmu dengan lebih bahagia. Petiklah sebuah hikmah, bahwa kita pun ingin mengukir kenangan manis dalam hidup seseorang. Bukan kenangan abstrak yang membuat hati tidak nyaman.


7 September 2013
@Istana Maryam
"Dendam dan rasa kesal, bagaikan kerikil kecil yang kau masukkan dalam ransel di sepanjang jalan hidupmu. Semakin hari kerikil itu semakin banyak dan membuat berat punggungmu. Hingga suatu saat kau tersadar bahwa kau tak mampu meloncati sebuah anak tangga menuju kesuksesan dengan beban ranselmu yang berat."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar